Waktu Sumenep
Kotak Berkas
Alamat pengeposan file ke webiste ISPI Sumenep, anda dapat mengirim file berupa Word, Excel, PDF, Foto dan Video dari email anda, alamatkan ke : ispisumenep.file@blogger.com
Lebih jelasnya saudara lihat di menu Tutorial cara mengirim data ke website kami, terima kasih kunjungannya.
Admin
Blog Archive
Link Edukasi
Kamis, 30 Desember 2010
15.38 |
Diposting oleh
ISPI Kab. Sumenep
Tanggal: 28 Desember 2010 06.04
Subjek: Agupena Jawa Tengah
Ke: ispisumenep@gmail.com
PERAHU KERTAS
Posted: 27 Dec 2010 12:06 AM PST
Penulis : Ir. Bambang Sukmadji
Guru MA Futuhiyyah-1 Mranggen Demak Jateng
Padang luas berlantai ilalang memantulkan sinar putih mentari yang berjarak seakan sepenggalah, tiada naungan sama sekali di padang itu. Lantaran pepohonan lebih senang tumbuh di tempat yang membawa kesejukan, ketimbang harus berlomba dengan manusia untuk menggerutui teriknya panas. Sementara debu debu jalang menggambar padang ilalang itu menjadi pengap dan mengaburkan pandangan mata.
Namun di tengah padang tersebut, masih saja manusia mengais kehidupan dengan caranya sendiri, yang tidak mau melangkah surut dari terkaman sinar mentari dan debu pengap demi sesuap nasi. Di tengah tumpukan sampah yang teronggok di tengah padang tersebut, mereka berlomba mencari sampah kaleng, plastik dan yang lainnya guna menyambung nafas yang masih bersemayam di dalam dadanya, yang tak kalah teriknya dengan udara padang. Meski terkadang angin kemarau yang kering dan sejuk itu mencoba mendinginkan semua yang melekang.
Dengan kantong plastic berwarna putih di punggungnya, wajah Sarkasi tertawan oleh perguliran hari yang berkuku tajam dan bertaring menakutkan. Diapun kini melangkah menyusuri jalan setapak, meski harus menyibakan kuning daun daun ilalang yang mengenai tubuhnya. Jalan setapak yang dilalui berujung pada tepi padang, yang mempertumukan dengan bocah kecil berambut menguning terpagut sinar mentari dan tanpa alas kaki. Kedua kakinya coklat kehitaman, lantaran bocah itu telah akrab dengan kehidupan keras bapak ibunya yang selalu bermandi peluh dan sinar mentari.
"Bapak ! " suara lantang memenuhi semua mulut jalan setapak itu. Sebuah senyum menghiasi siang yang membara itu dari bibir kecil putri bungsunya seraya menjulurkan kedua tanganya, untuk mendapatkan belaian kasih sayang dari pria yang tak kenal lelah dalam secercah kehidupan. Tangan kanan Sarkasi kemudian dijulurkan untuk menggendong putri bungsunya itu.
"Kamu tidak menunggui emakmu, sayang?"
"Emak sudah tidur, mengapa emak tidur terus, kapan emak sembuh, ya Pak ?"
"Sebentar lagi juga sembuh, makanya kamu harus sering mendoakan emakmu, ya sayang !".
"Ya Tuhan, aku memohon padamu, kapan emak sembuh ya Tuhan, aku ingin berjalan jalan kalau sore dengan emak. Sembuhkanlah emak, ya Tuhan ". Pandangan mata lugu bocah itu terus dilemparkan ke langit biru, tempat Tuhan bersemayam menurut anganya. Sementara itu Sarkasi hanya tersenyum getir dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Emak sakit apa sih Pak ?"
"Emak tidak sakit, emak hanya kecapaian, besok juga sembuh. Nanti kamu bisa jalan jalan ke mana kamu suka, sayangku !"
Tangan Sarkasi masih tetap kokoh menggendong putri bungsunya, sementara itu gubug bambu milik mereka sudah mulai tampak, di tengah rimbun pohon pisang, singkong dan tanaman lombok. Pilar pilar yang meski terbuat dari batu bata, namun tidak cukup kokoh menahan terpaan angin kemarau yang kencang dan kering. Sehingga rumah bambu itu sedikit bergoyang. Dan di dalam rumah bambu itu tergolek lemah Sumiasih yang diterjang kanker alat pencernaan yang ganas. Sumiarsih masih menyodorkan senyum tulusnya dari bibirnya yang pucat dan kering itu, kala suaminya yang menggendong Esti berdiri di sebelah pembaringan yang berkulum sepi.
"Kau sudah datang, Bang !". Sarkasi hanya mengganggukan kepalanya dengan sebuah senyum yang dalam untuk membalas tegur sapa istrinya yang dicintainya selama 20 tahun.
"Maafkan aku Bang !, aku tidak menyiapkan makan siangmu. Hari ini badanku terasa lemas, Bang !, biarkan Esti disampingku, aku selalu kangen dengan anak kita ini"
"Asih, biar abang nanti masak sendiri. Istirahatlah dulu !"
"Tapi aku juga tidak masak sayur dan lauk, Bang?"
'Pemulung seperti saya ini, lauk apapun jadi, biarlah abang nanti masak sayur daun singkong"
"Dari pagi, Bang!, setelah Abang pergi perut aku terasa sakit lagi dan Alhamdulillah sekarang sudah agak berkurang"
"Asih, abangkan berkali kali minta agar kamu mau dioperasi ?"
"Ah si Abang, biaya dari mana Bang ?"
"Aku masih punya tanah ini yang bisa kita jual untuk operasimu, Esti masih membutuhkan kamu, maka biarlah tanah ini jadi milik orang lain asalkan kau bisa sembuh dan bahagia".
"Engkau membutuhkan waktu bertahun tahun banting tulang untuk bisa membeli tanah ini, mengapa pula harus kau jual demi aku ?"
"Tapi kehadiranmu di sisi Esti dan Didin jauh lebih berharga daripada tanah ini. Masalah rumah kita nantinya, serahkan saja pada kekuasaan Yang D iatas sana"
"Tapi aku kasihan dengan kedua anak kita. Bang !, abang kan tahu !. Didin anak sulung kita hanya mampu bersekolah hingga SMP, dan kini hanya bisa menjadi abang becak di Jakata. Aku tidak mau mengecewakan Didin yang kedua kali. Kelak mereka berdua membutuhkan tanah ini untuk kehidupan Didin dan Esti. Aku harap kau mengerti "
Kata kata terakhir Sumiasih sudah tidak mampu dia dengarkan lagi, beribu sayap yang kokoh kini menjinjingnya untuk mengembarakan anganya menyelusuri langit biru, yang telah dihiasi mentari yang mulai condong ke Barat. Anganya yang ada di langit mampu menyelusuri benang benang waktu, mulai dari dia melewatkan malam pertama dengan Sumiasih hingga dia di pembaringan kini tak berdaya.
Betapa indahnya hidup yang dia jalani bersama Sumiasih, layaknya mengguratkan warna warni keindahan di langit biru. Meskipun mereka berdua mengarungi bahtera rumah tangga dengan penuh keterbataan, namun langit di atas hidup mereka benar benar penuh warna.
Sumiasih kini hanya terdiam dengan batuk batuk kecil terus terdengar memenuhi semua udara di kamarnya yang beratap bambu dan berlantai tanah. Esti masih merangkai mimpi indah di sisi Sumiasih, yang berulang membelai rambut kering dan lurus putri bungsunya. Angin kemarau bertambah kencang menerobos lubang lubang dinding bambu.
"Asih !"
"Ya bang !"
"Sebaiknya aku kabari Didin untuk pulang dan mengerti tentang penyakitmu it. Aku takut kalau dia marah nantinya ".
"Biarkanlah dia di Jakarta dulu, Bang. Aku khawatir saat dia mendengar tentang penyakitku, jiwanya menjadi tergoncang, aku kasihan bang "
"Aku menjadi bimbang, Sih. Memang benar ucapanmu. Kita saat ini masih merasa berdosa hanya mampu menyekolahkan dia ampai SMP saja. Maka akupun ingin dia benar benar bahagia di Jakarta, tidak terbebani dengan keadaan orang tuanya di sini. Tapi di lain pihak, barangkali saja kehadiran Didin bisa menyembuhkan penyakitmu ". Suimiarsih hanya tersenyum ringan mendengar serangkaian kata bijak dari sang suaminya yang kokoh sekuat baja dalam menghadapi benturan hidup, sejak mereka sepakat membina maghligai mereka berdua. Sebuah maghligai yang diibaratkan sebuah perahu kerta di tengah riak air, namun perahupun tidak kunjung tenggelam, kecuali Yang Maha Kuasa yang Menghendaki.
"Tapi apa kamu tidak kangen?, istriku !"
"Didin adalah anak kita yang sulung, yang berarti bagi hidup kita, Bang!. Kala kita berdua hanya hidup di rumah kontrakan, kala Didin tidak boleh ikut tes di sekolah, kala dia hanya tinggak di rumah sementara temen temen sekolahnya piknik ke Bali, lantaran kita tidak punya uang untuk membayar piknik. Tapi Didin tidak pernah protes dengan ketidakmampuan kita, Bang. Sekarang biarlah dia bahagia di Jakarta, jangan samoai dia tahu bila aku terkena kanker pencernaan, aku tidak tega lagi melihat dia menderita ". Sumiarsih sudah tidak mampu lagi meneruskan kata katanya, lantaran bara panas telah mengganjal tenggorokanya. Dadanyapun terasa sesak seakan seribu tangan raksasa telah menelikungnya.
Sarkasipun hanya tertunduk lesu, kedua matanya kini berkaca-kaca. Rasa tidak tega terhadap istrinyapun kini memenuhi semua dadanya. Betapa besar pengorbanan istrinya yang selama belasan tahun telah menyertai langkah kakinya dalam menapaki jalan hidup yang penuh banturan sebagai seorang pemulung. Tapi kini hanya tergolek lemas di pembaringan, tanpa berobat ke dokter ahli kanker. Tidak seperti biasanya istrinya hanya tersenyum kala menghadapi cobaan hidup mereka bersama.
"Asih, maafkan Abang ya ?" pinta Sarkasi dengan nada suara terputus,.
"Maaf, untuk apa Bang ?"
"Aku tiak mampu berbuat apapun saat engkau seperti ini. Harusnya aku memiliki uang untuk mengobati penyakitmu "
"Bang, apa baru kali ini kita mengalami penderitaan, setiap terbitnya matahari penderitaan dan kekurangan yang pertama mengucapkan selamat pagi pada kita. Aku sudah tidak mampu lagi merasakan penderitaan ini, Bang !"
"Tapi siapa orangnya yang tidak iba melihat penderitaan seorang istri seperti kamu. Asih !, masih ada kesempatan untuk membawamu ke rumah sakit. Jangan kamu berpikir terlalu jauh, yang pentingkamu bisa bersanding disampingku dan membesarkan Esti yang membutuhkan kamu"
Suara batuk batuk Sumiarsih terdengar lagi dengan dada yang terguncang berat. Sambil terus menyodorkan senyum pada suaminya, diapun mencoba untuk menyadarkan suaminya, bahwa dia sudah merelakan semuanya. Barngkali kematianlah yang paling membahagiakan dia dalam menghadapi badai kehidupan. Sumiarsihpun tahu meski suaminya menghabiskan biaya ratusan juta namun peluang untuk hidup tetaplah tipis. Maka diapun mencoba meminta suaminya untuk tetap bahagia apapun yang terjadi dengan dirinya.
"Tahu kemarin aku hanya berobat dan mondok di rumah sakit, abang sudah menjual seekor sapi. Lantas bila aku harus operasi yang biayanya ratusan juta, abang mau jual apalagi. Sudahlah Bang, aku siap menghadapi apa saja. Bahagiakan abang di tengah Didin dan Esti". Sumiarsih bertambah pucat pasi wajahnya, diapun kini tertidur di sisi suaminya dan Esti. Sementara matahari kini telah mulai lelah menyaksikan episode drama dari sepasang insan yang harus menghadapi segala sesuatu dengan kemampuan mereka sendiri, kini matahari mulai bersembunyi di tirai senja.
Sarkasi dan Esti putri bungsunya melewatkan senja ini dengan canda ria, Estipun menjadi bertambah berseri wajahnya setelah berhari hari hanya murung, sementara ini Esti mampu melupakan emaknya, yang sedang meregang nyawa di pembaringan.Nampaknya memang Tuhan telah mengabulkan permohonan Sumiarsih untuk menapaki kebahagiaan yang abadi disisiNYA.
Senja itu adalah senja terakhir Sarkasi didampingi Sumiarsih, setelah beribu ribu episode Sumiarsih tidak pernah absen disampingnya. Sarkasipun tahu bahwa kebahagiaan seorang manusia ternyata berada di jauh hati manusia itu sendiri, bahagia bukah diwujudkan dengan berhamburan materi. Terbukti dua puluh tahun lebih dia merasakan kebahagiaan berada di samping Sumiarsih.
Guru MA Futuhiyyah-1 Mranggen Demak Jateng
Padang luas berlantai ilalang memantulkan sinar putih mentari yang berjarak seakan sepenggalah, tiada naungan sama sekali di padang itu. Lantaran pepohonan lebih senang tumbuh di tempat yang membawa kesejukan, ketimbang harus berlomba dengan manusia untuk menggerutui teriknya panas. Sementara debu debu jalang menggambar padang ilalang itu menjadi pengap dan mengaburkan pandangan mata.
Namun di tengah padang tersebut, masih saja manusia mengais kehidupan dengan caranya sendiri, yang tidak mau melangkah surut dari terkaman sinar mentari dan debu pengap demi sesuap nasi. Di tengah tumpukan sampah yang teronggok di tengah padang tersebut, mereka berlomba mencari sampah kaleng, plastik dan yang lainnya guna menyambung nafas yang masih bersemayam di dalam dadanya, yang tak kalah teriknya dengan udara padang. Meski terkadang angin kemarau yang kering dan sejuk itu mencoba mendinginkan semua yang melekang.
Dengan kantong plastic berwarna putih di punggungnya, wajah Sarkasi tertawan oleh perguliran hari yang berkuku tajam dan bertaring menakutkan. Diapun kini melangkah menyusuri jalan setapak, meski harus menyibakan kuning daun daun ilalang yang mengenai tubuhnya. Jalan setapak yang dilalui berujung pada tepi padang, yang mempertumukan dengan bocah kecil berambut menguning terpagut sinar mentari dan tanpa alas kaki. Kedua kakinya coklat kehitaman, lantaran bocah itu telah akrab dengan kehidupan keras bapak ibunya yang selalu bermandi peluh dan sinar mentari.
"Bapak ! " suara lantang memenuhi semua mulut jalan setapak itu. Sebuah senyum menghiasi siang yang membara itu dari bibir kecil putri bungsunya seraya menjulurkan kedua tanganya, untuk mendapatkan belaian kasih sayang dari pria yang tak kenal lelah dalam secercah kehidupan. Tangan kanan Sarkasi kemudian dijulurkan untuk menggendong putri bungsunya itu.
"Kamu tidak menunggui emakmu, sayang?"
"Emak sudah tidur, mengapa emak tidur terus, kapan emak sembuh, ya Pak ?"
"Sebentar lagi juga sembuh, makanya kamu harus sering mendoakan emakmu, ya sayang !".
"Ya Tuhan, aku memohon padamu, kapan emak sembuh ya Tuhan, aku ingin berjalan jalan kalau sore dengan emak. Sembuhkanlah emak, ya Tuhan ". Pandangan mata lugu bocah itu terus dilemparkan ke langit biru, tempat Tuhan bersemayam menurut anganya. Sementara itu Sarkasi hanya tersenyum getir dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Emak sakit apa sih Pak ?"
"Emak tidak sakit, emak hanya kecapaian, besok juga sembuh. Nanti kamu bisa jalan jalan ke mana kamu suka, sayangku !"
Tangan Sarkasi masih tetap kokoh menggendong putri bungsunya, sementara itu gubug bambu milik mereka sudah mulai tampak, di tengah rimbun pohon pisang, singkong dan tanaman lombok. Pilar pilar yang meski terbuat dari batu bata, namun tidak cukup kokoh menahan terpaan angin kemarau yang kencang dan kering. Sehingga rumah bambu itu sedikit bergoyang. Dan di dalam rumah bambu itu tergolek lemah Sumiasih yang diterjang kanker alat pencernaan yang ganas. Sumiarsih masih menyodorkan senyum tulusnya dari bibirnya yang pucat dan kering itu, kala suaminya yang menggendong Esti berdiri di sebelah pembaringan yang berkulum sepi.
"Kau sudah datang, Bang !". Sarkasi hanya mengganggukan kepalanya dengan sebuah senyum yang dalam untuk membalas tegur sapa istrinya yang dicintainya selama 20 tahun.
"Maafkan aku Bang !, aku tidak menyiapkan makan siangmu. Hari ini badanku terasa lemas, Bang !, biarkan Esti disampingku, aku selalu kangen dengan anak kita ini"
"Asih, biar abang nanti masak sendiri. Istirahatlah dulu !"
"Tapi aku juga tidak masak sayur dan lauk, Bang?"
'Pemulung seperti saya ini, lauk apapun jadi, biarlah abang nanti masak sayur daun singkong"
"Dari pagi, Bang!, setelah Abang pergi perut aku terasa sakit lagi dan Alhamdulillah sekarang sudah agak berkurang"
"Asih, abangkan berkali kali minta agar kamu mau dioperasi ?"
"Ah si Abang, biaya dari mana Bang ?"
"Aku masih punya tanah ini yang bisa kita jual untuk operasimu, Esti masih membutuhkan kamu, maka biarlah tanah ini jadi milik orang lain asalkan kau bisa sembuh dan bahagia".
"Engkau membutuhkan waktu bertahun tahun banting tulang untuk bisa membeli tanah ini, mengapa pula harus kau jual demi aku ?"
"Tapi kehadiranmu di sisi Esti dan Didin jauh lebih berharga daripada tanah ini. Masalah rumah kita nantinya, serahkan saja pada kekuasaan Yang D iatas sana"
"Tapi aku kasihan dengan kedua anak kita. Bang !, abang kan tahu !. Didin anak sulung kita hanya mampu bersekolah hingga SMP, dan kini hanya bisa menjadi abang becak di Jakata. Aku tidak mau mengecewakan Didin yang kedua kali. Kelak mereka berdua membutuhkan tanah ini untuk kehidupan Didin dan Esti. Aku harap kau mengerti "
Kata kata terakhir Sumiasih sudah tidak mampu dia dengarkan lagi, beribu sayap yang kokoh kini menjinjingnya untuk mengembarakan anganya menyelusuri langit biru, yang telah dihiasi mentari yang mulai condong ke Barat. Anganya yang ada di langit mampu menyelusuri benang benang waktu, mulai dari dia melewatkan malam pertama dengan Sumiasih hingga dia di pembaringan kini tak berdaya.
Betapa indahnya hidup yang dia jalani bersama Sumiasih, layaknya mengguratkan warna warni keindahan di langit biru. Meskipun mereka berdua mengarungi bahtera rumah tangga dengan penuh keterbataan, namun langit di atas hidup mereka benar benar penuh warna.
Sumiasih kini hanya terdiam dengan batuk batuk kecil terus terdengar memenuhi semua udara di kamarnya yang beratap bambu dan berlantai tanah. Esti masih merangkai mimpi indah di sisi Sumiasih, yang berulang membelai rambut kering dan lurus putri bungsunya. Angin kemarau bertambah kencang menerobos lubang lubang dinding bambu.
"Asih !"
"Ya bang !"
"Sebaiknya aku kabari Didin untuk pulang dan mengerti tentang penyakitmu it. Aku takut kalau dia marah nantinya ".
"Biarkanlah dia di Jakarta dulu, Bang. Aku khawatir saat dia mendengar tentang penyakitku, jiwanya menjadi tergoncang, aku kasihan bang "
"Aku menjadi bimbang, Sih. Memang benar ucapanmu. Kita saat ini masih merasa berdosa hanya mampu menyekolahkan dia ampai SMP saja. Maka akupun ingin dia benar benar bahagia di Jakarta, tidak terbebani dengan keadaan orang tuanya di sini. Tapi di lain pihak, barangkali saja kehadiran Didin bisa menyembuhkan penyakitmu ". Suimiarsih hanya tersenyum ringan mendengar serangkaian kata bijak dari sang suaminya yang kokoh sekuat baja dalam menghadapi benturan hidup, sejak mereka sepakat membina maghligai mereka berdua. Sebuah maghligai yang diibaratkan sebuah perahu kerta di tengah riak air, namun perahupun tidak kunjung tenggelam, kecuali Yang Maha Kuasa yang Menghendaki.
"Tapi apa kamu tidak kangen?, istriku !"
"Didin adalah anak kita yang sulung, yang berarti bagi hidup kita, Bang!. Kala kita berdua hanya hidup di rumah kontrakan, kala Didin tidak boleh ikut tes di sekolah, kala dia hanya tinggak di rumah sementara temen temen sekolahnya piknik ke Bali, lantaran kita tidak punya uang untuk membayar piknik. Tapi Didin tidak pernah protes dengan ketidakmampuan kita, Bang. Sekarang biarlah dia bahagia di Jakarta, jangan samoai dia tahu bila aku terkena kanker pencernaan, aku tidak tega lagi melihat dia menderita ". Sumiarsih sudah tidak mampu lagi meneruskan kata katanya, lantaran bara panas telah mengganjal tenggorokanya. Dadanyapun terasa sesak seakan seribu tangan raksasa telah menelikungnya.
Sarkasipun hanya tertunduk lesu, kedua matanya kini berkaca-kaca. Rasa tidak tega terhadap istrinyapun kini memenuhi semua dadanya. Betapa besar pengorbanan istrinya yang selama belasan tahun telah menyertai langkah kakinya dalam menapaki jalan hidup yang penuh banturan sebagai seorang pemulung. Tapi kini hanya tergolek lemas di pembaringan, tanpa berobat ke dokter ahli kanker. Tidak seperti biasanya istrinya hanya tersenyum kala menghadapi cobaan hidup mereka bersama.
"Asih, maafkan Abang ya ?" pinta Sarkasi dengan nada suara terputus,.
"Maaf, untuk apa Bang ?"
"Aku tiak mampu berbuat apapun saat engkau seperti ini. Harusnya aku memiliki uang untuk mengobati penyakitmu "
"Bang, apa baru kali ini kita mengalami penderitaan, setiap terbitnya matahari penderitaan dan kekurangan yang pertama mengucapkan selamat pagi pada kita. Aku sudah tidak mampu lagi merasakan penderitaan ini, Bang !"
"Tapi siapa orangnya yang tidak iba melihat penderitaan seorang istri seperti kamu. Asih !, masih ada kesempatan untuk membawamu ke rumah sakit. Jangan kamu berpikir terlalu jauh, yang pentingkamu bisa bersanding disampingku dan membesarkan Esti yang membutuhkan kamu"
Suara batuk batuk Sumiarsih terdengar lagi dengan dada yang terguncang berat. Sambil terus menyodorkan senyum pada suaminya, diapun mencoba untuk menyadarkan suaminya, bahwa dia sudah merelakan semuanya. Barngkali kematianlah yang paling membahagiakan dia dalam menghadapi badai kehidupan. Sumiarsihpun tahu meski suaminya menghabiskan biaya ratusan juta namun peluang untuk hidup tetaplah tipis. Maka diapun mencoba meminta suaminya untuk tetap bahagia apapun yang terjadi dengan dirinya.
"Tahu kemarin aku hanya berobat dan mondok di rumah sakit, abang sudah menjual seekor sapi. Lantas bila aku harus operasi yang biayanya ratusan juta, abang mau jual apalagi. Sudahlah Bang, aku siap menghadapi apa saja. Bahagiakan abang di tengah Didin dan Esti". Sumiarsih bertambah pucat pasi wajahnya, diapun kini tertidur di sisi suaminya dan Esti. Sementara matahari kini telah mulai lelah menyaksikan episode drama dari sepasang insan yang harus menghadapi segala sesuatu dengan kemampuan mereka sendiri, kini matahari mulai bersembunyi di tirai senja.
Sarkasi dan Esti putri bungsunya melewatkan senja ini dengan canda ria, Estipun menjadi bertambah berseri wajahnya setelah berhari hari hanya murung, sementara ini Esti mampu melupakan emaknya, yang sedang meregang nyawa di pembaringan.Nampaknya memang Tuhan telah mengabulkan permohonan Sumiarsih untuk menapaki kebahagiaan yang abadi disisiNYA.
Senja itu adalah senja terakhir Sarkasi didampingi Sumiarsih, setelah beribu ribu episode Sumiarsih tidak pernah absen disampingnya. Sarkasipun tahu bahwa kebahagiaan seorang manusia ternyata berada di jauh hati manusia itu sendiri, bahagia bukah diwujudkan dengan berhamburan materi. Terbukti dua puluh tahun lebih dia merasakan kebahagiaan berada di samping Sumiarsih.
Naskah ke 2 Prosa
HANTU HANTU KERETA REFORMASI
"Lagu Rayuan Pulau Kelapa" yang dibahanakan oleh RRI dan TVRI tiap tengah malam, masih saja mampu membawa ingatan kita tentang "Bangsa dan Negara Archipelago yang menawan ini", yang dahulu beberapa dasawarsa masih mampu bernaung di erotisnya alam hijau, dari mulai Bukit Barisan hingga Pegunungan Roro Anteng dan Joko Seger di Lereng Gunung tempat Sang Brahma beristirahat melepas lelah.
Tanaman bakau tak ketinggalan pula ikut meliukan pinggangnya kala daun nyiur bercengkerama dengan angin pagi. Datang dan pergi burung bangau dari sarangnya yang tersembunyi di sudut desa hingga sawah sawah yang tergenang air hujan, untuk tumbuhnya padi.
Hutan, ngarai, sawah dan lading bergegas untuk memberikan senyum tawarnya pada manusia manusia yang murah senyum, santun dan tak pernah saling melempar batu, bila terjadi silang pendapat, Sementara sang ibupun dengan lemah gemulai meninabobokan oroknya yang baru berumur beberapa bulan. Mereka tidak mengenal membesarkan dan membelai anaknya di tempat sampah atau sungai. Entah abad yang bagaimana bila sang ibunya tega melakukan itu.
Namun apa yang banyak diungkapkan oleh syair dan fatwa para pujangga, telah mengering dan melekang disapu angin jaman, kala datanglah jaman yag dinahkodai oleh Gayus dan para pendukung,pembisik, pengusung kursi tahtanya serta para hulubalang yang buncit perutnya, berpesta pora 41 hari 41 malam, memakan daging dari bahu, lengan, paha masyarakat miskin penonton kereta revolusi. Sementara para oknum hulubalang raja lainnya berpengarai mirip hantu penghisap darah yang mampu mengeringkan sekujr tubuh korbanya, lantaran terhisap darahnya untuk peuas nafsu setan.
Nampaknya setan sudah menjadi kalah wibawa dengan penghisap darah ini. Sehingga setanpun sudah tidak mampu lagi merayu mereka. Sebab meskipun setan adalah mahluk hina, namun mereka masih memiliki perikemanusiaan, yang berbeda jauh dengan manusia yang berperikesetanan, dan oknum hulubalang raja seperti inilah yang berdiri dengan wajah garang di balik jubah hitam dan berdiri di tengah pintu kereta reformasi,seraya menyodorkan gelas gelas berisi air tuba bagi para penumpang kereta . Sehingga wajar saja bila negeri Archipelago menjadi negeri yang berkipas duri dalam debu, awan panas yang melelehkan kulit dan daging, wedus gembel dari perut neraka, lumpur lumpur lulur bidadari yang menusuk hidung dan menyesakan dada.
Semua penonton kereta itupun menjadi kalang kabut, hingar bingar, berlarian mencari anak istri dan suaminya yang menyelinap entah kemana, kala mereka menyaksikan bumi yang naik pitam dengan ulah setan hitam pengisap darah ini.
Bumipun mengibaskan lenganya di Waisor, Mentawai, Aceh, Jogja, Pantai Pangandaran, Padang dan yang terakhir Merapi dan Bromo, yang meneteska air mata ilalang yang tak kokoh akarnya, tak tegar batangnya dan telah mengering daunya lantaran terhembus angin kereta reformasi yang tak kunjung berhenti.
Namun setan setan itu malah tertawa terkekeh, hingga keluarlah belatung dari dalam lidahnya yang terus membahanakan bau busuk menusuk hidung, menggeleparkan semua pesona negeri, lantaran sebagian ilalang lebih memilih berdiam di negeri seberang meski mereka mendapat cacian, hinaan dan aniaya dari sang empu negeri seberang tersebut.
Keretapun bertambah lambat jalanya dengan goncangan goncangan yang mulai terasa dan entah hingga kapan akan berhenti. Keretapun akan bersandar kelelahan bila sang hantu berniat mengasah hitam kukunya dan menajamkan taring penghisap apa saja yang ada di sekitarnya. Semen, aspal, baja, pupuk, mesin jahit apalagi sapi, adalah makanan sehari hari yang tanpa basa basi langsung menenggak semua oplosan tersebut, tanpa meninggalkan gejala penyakit apapun. Berlainan dengan anak anak kita yang mati konyol kala menenggak oplosan demi menyematkan prestis meeka yang tak kunjung menggapainya.
Akankah lebih melegenda ke seluruh egara Negara sebrang, yang beristana di tengah lautan pasir, kutub utara dan selatan, ataukan puncak Mount Everest tentang Archipelago yang indah menawan yang berganti baju sematan Negara Nasi Aking, Negara TKW teraniaya, Negara Wedus Gembel atau bahkan Negara Oknum Petinggi Korup, denga menepiskan begitu saja sematan keagungan bangsa ketika Ramang dan Rudi Hartono atau juga Ir. Soekarno dan lainnya yang menjadi buah bibir dunia.
Ilalang ilalang yang hidup di kampung berdinding korban jaman, kini hanya mendenguskan nafas panjang, bila mereka merasa telah hampa asa yang digenggam, lantaran separo nafas yang dititipkan pada istana loji penguasa, akhirnya hanya terhempas oleh angin hedonisme mentalitas setan dan hantu berjubah hitam di Archipelago. Apalagi bagi ilalang yang berbedak pupur debu Merapi hanya bersandar pada sorot mata yang kosong. Tembang si Piawai Lagu Sajak Ebiet G. Ade tentang Untuk Kita Renungkan, Perjalanan dan lain lain, hanya untuk penghibur secangkir kopi manis di senja hari. Bahkan mereka kini telah melebarkan jubah hitamnya guna menapatkan kursi kekuasaan yang lebih tinggi.
Ilalang yang bukan luusan kampus perlente saja telah tahu, bahwa kedamaian dan ketentraman negeri Archipelago hanya mampu diraih bila kita tidak saling mengukuhkan ego, tapi kita saling menjadi satu dalam cincin nasionalisme, apabila kita diusik oleh cincin api. Keterpurukan hanya mampu dientaskan bila antara daun ilalang saling bertaut antara satu dengan yang lain, bukan dengan jubah hitam sang hantu yang digunakan untuk menutupi aib nasionalisme, aib kemanusiaan dan aib moralitas lainnya. Hantu hantu enyahlah kau dari kereta reformasi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar