Waktu Sumenep

Sign up for our email news letter

Kotak Berkas

Alamat pengeposan file ke webiste ISPI Sumenep, anda dapat mengirim file berupa Word, Excel, PDF, Foto dan Video dari email anda, alamatkan ke : ispisumenep.file@blogger.com
Lebih jelasnya saudara lihat di menu Tutorial cara mengirim data ke website kami, terima kasih kunjungannya. Admin

Memo

Blog Archive

click to generate your own text
Kamis, 30 Desember 2010
Dari: Agupena Jawa Tengah
Tanggal: 28 Desember 2010 06.04
Subjek: Agupena Jawa Tengah
Ke: ispisumenep@gmail.com

ALANGKAH LUCUNYA KEBIJAKAN UN
Posted: 27 Dec 2010 12:09 AM PST
Oleh : Diyono Adhi Budiyono, S.Pd
Anggota Agupena Jateng, Guru SMA 3 Muhammadiyah Watukelir


Akhirnya pemerintah memutuskan, hasil Ujian Nasional ( UN ) tidak menjadi penentu satu-satunya kelulusan siswa pada ujian 2011 mendatang. Putusan pemerintah itu diambil setelah melalui polemik panjang di penghujung tahun 2010 ini. Putusan itu 'agak' melegakan warga sekolah; siswa, guru dan wali murid, yang selama ini, bahwa pelaksanaan UN telah menjadi momok bagi warga sekolah. Dan Alangkah lucunya bila UN ini masih tetap dipertahankan sebagai penentu kelulusan seperti tahun ajaran kemarin.
Mengapa lucu ?


Ada dua alasan mengapa kebijakan UN saya katakan lucu, yaitu pertama: bahwa UN sebagai penentu kelulusan SANGAT bertentangan dengan era pelaksanaan sistem pemerintahan Otonomi Daerah ( Otda ). Kedua: bahwa UN sangat kontradiksi dengan sistem evaluasi pembelajaran dan pendidikan karakter.
Pemerintah sejak tahun 1999 telah memberlakukan Undang Undang Otonomi Daerah ( UU Otda ) melalui UU Nomor 22 tahun 1999 yang kemudian disempurnakan lagi dengan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Secara global UU ini berisi tentang penyerahan sejumlah wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Salah satu kewenangan pusat yang dilimpahkan ke pemerintah daerah itu adalah tentang pengelolaan pendidikan.
Pengelolaan pendidikan yang sebelum UU Otda menjadi urusan pemerintah pusat, maka dengan Otda ini pengelolaan pendidikan menjadi urusan pemerintah daerah. Kemudian para praktisi pendidikan dan pejabat terkait menggagas dan berupaya bagaimana memperbaiki rendahnya mutu pendidikan di tanah air ini. Maka lahirlah sebuah UU Sistem Pendidikan Nasional ( UU Sisdiknas ) No. 20 Tahun 2003.
Tujuan UU Sistem Pendidikan Nasional ( Sisdiknas ) ini, berupaya memperbaiki sistem dan meningkatkan mutu pendidikan nasional. Bahwasanya pendidikan bermutu harus dapat dinikmati oleh semua rakyat dan bangsa Indonesia. UU sisdiknas ini juga merupakan perwujudan dari amanat UUD 1945, yaitu: bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang layak. Selain itu lahir pula sebuah manajemen pendidikan yang dirumuskan ke dalam Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah ( MPMBS ).
Rendahnya mutu pendidikan di Indonesia,( Dirjendikdasmen,2001: 3 ) karena tiga faktor yang diduga menjadi penyebabnya. Ketiga faktor itu adalah: Pertama, kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan education production function atau input-output analysis yang tidak dilaksanakan secara konskuen.
Kedua,penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara birokratik-sentralistik, sehingga menempatkan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan sangat tergantung pada putusan birokrasi yang mempunyai jalur yang sangat panjang dan kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat.
Ketiga, peran serta masyarakat, khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim. Partisipasi masyarakat pada umumnya lebih banyak bersifat dukungan input ( dana ), bukan pada proses pendidikan ( pengambilan keputusan, monitoring, evaluasi, dan akuntabilitas ).
Berdasarkan tiga faktor tersebut maka pemerintah berupaya memperbaiki mutu pendidikan dengan penerapan Manajemen Berbasis Sekolah ( MBS ).
Manajemen Berbasis Sekolah dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah ( guru, siswa, kepala sekolah, karyawan, orang tua siswa, dan masyarakat ) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional. MBS merupakan konsep pengelolaan sekolah yang ditujukan untuk meningkatkan mutu pendidikan di era desentralisasi pendidikan atau otonomi daerah.
Sejalan dengan pelaksanaan MPMBS itu kemudian lahirlah kurikulum 2006 yang disebut dengan kurikulum tingkat satuan Pendidikan ( KTSP ). Dalam pengembangan KTSP, guru mempunyai otoritas memasukkan unsur muatan lokal sehingga menuntut kreativitas guru. Dengan demikian pelaksanaan UN yang sifatnya sentralistik itu sangat bertentangan dengan jiwa otonomi sekolah dalam pengembangan KTSP.
Penentuan lulusan berdasarkan hasil UN juga sangat bertentangan dengan sistem evaluasi pembelajaran dan pendidikan karakter.
Dalam sistem evaluasi pembelajaran, keberhasilan belajar siswa tidak hanya ditentukan kelulusan siswa dalam menempuh keseluruhan tes atau ujian yang diberikan (kognitif), termasuk UN, tetapi juga karena terbentuknya sikap, kepribadian, dan keterampilan yang diharapkan sesuai dengan standar kompetensi yang telah dirumuskan (afektif dan psikomotor). Penilaian afektif biasanya tidak menghasilkan indeks angka, tetapi dengan atribut baik atau tidak baik. Karena penilaian ini menyangkut akhlaq, budi pekerti atau karakter anak dalam perilaku kesehariannya. Penilaian afektif ini hanya dapat dilaksanakan oleh guru ( bukan pemerintah pusat ) dalam menilai perilaku keseharian siswa.
Hasil tes, ujian hanyalah bagian dari evaluasi pembelajaran. Maka jika kelulusan siswa hanya ditentukan oleh hasil UN, sangat bertentangan dengan sistem evaluasi pembelajaran. Selayaknya yang dapat menentukan lulus tidaknya siswa itu adalah warga sekolah yang terdiri dari guru, kepala sekolah, dan Komite sekolah, terutama sekali guru, bukan oleh pemerintah pusat.
Selain itu, UN juga tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah ( PP ) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional. Dalam peraturan pemerintah tersebut, penilaian pendidikan di jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas penilaian hasil belajar oleh pendidik, yakni penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan dan penilaian hasil belajar oleh pemerintah. Maka hasil UN sebagai penentu kelulusan sangat bertentangan dengan isi PP tersebut.
Sedangkan pelaksanaan UN yang bersifat sentralistik itu juga sangat tidak tepat dengan keragaman kemampuan siswa di tiap-tiap daerah. Standar kelulusan di jawa akan berbeda hasil lulusannya jika diterapkan di Papua atau di pulau lain di tanah air dengan segala kemampuan siswa yang berbeda-beda pula ini. Alangkah lucunya jika hasil UN dijadikan penentu kelulusan siswa secara nasional.

0 komentar: